Feb 17, 2010

Memahami dan Memilih KPR

MEMILIH KPR

Tingkat bunga memang menjadi daya tarik utama sebuah KPR. Hal itu wajar karena makin murah bunganya makin kecil cicilan yang harus dibayar setiap bulan. Saat naskah ini ditulis (April 2007) rata-rata bunga KPR berkisar antara 10,5 – 13 persen efektif floating fixed 1 - 5 tahun. Misalnya, ada bank yang memberikan pilihan bunga 10,5 persen fixed satu tahun, bunga 10,75 persen fixed dua tahun, atau bunga 10,99 persen fixed tiga tahun. Ada juga bank yang memberikan bunga 12,91 persen fixed lima tahun sekaligus.

Bahkan, beberapa bank menawarkan bunga satu digit (di bawah 10 persen), khusus untuk pembelian rumah selama periode tertentu atau pembelian rumah di perumahan yang dikembangkan developer yang bekerjasama dengan bank. Tapi, jangan hanya terpaku pada penawaran bunga murah dan fixed itu. Pasalnya “tak ada makan siang yang gratis”. Jadi, tanyakan dulu detail penawaran itu agar Anda tidak kecele.

Sebuah bank misalnya, melansir program bunga 9,9 persen fixed 50 bulan (4 tahun 2 bulan) bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-50 bank itu. Sebagai perbandingan bunga KPR regulernya 13 persen fixed 1 tahun. Tapi, KPR dengan bunga supermurah itu hanya berlaku untuk pengajuan KPR sampai 31 Maret 2007. Yang bisa memperolehnya hanya debitur yang sudah menjadi nasabah minimal 50 bulan.

Bisa juga bunga murah itu diberikan karena ada subsidi dari developer. Untuk itu sebelumnya harga rumah dinaikkan lebih tinggi dari seharusnya. Atau biaya pengurusan KPR diperbesar, premi asuransi lebih tinggi, plafon maksimal KPR dikurangi, dan lain-lain. Kalau biasanya plafon maksimal 70 – 75 persen, dengan KPR berbunga murah itu hanya 60 – 65 persen. Itu artinya Anda harus menyiapkan uang muka lebih.


griya perumahan rumah dijual di depok bogor tangerang


Bunga murah dan fixed
Selain itu perhatikan juga kecenderungan bunga pasar. Saat ini tren bunga cenderung menurun. Itu terlihat dari inflasi yang terus rendah, sehingga mendorong BI terus menurunkan BI rate yang menjadi patokan bunga kredit. BI rate biasanya ditetapkan sekitar dua persen di atas inflasi. Kalau tahun ini BI mematok target inflasi 5 – 7 persen, berarti BI rate bisa turun ke level 9 persen atau 8 persen. Bila itu terjadi bunga KPR bisa makin murah.

Kalau Anda terlanjur memilih fitur bunga fixed 3 – 5 tahun, Anda tentu saja sudah “tersandera” tidak bisa ikut menikmati bunga lebih murah itu. Katakanlah bunga pasar stabil, sehingga pilihan bunga rendah dan fixed itu menyenangkan. Potensi persoalan lain akan muncul saat periode bunga khusus itu berakhir.

Bila saat itu bunga pasar turun, tak ada persoalan. Bunga dan cicilan KPR Anda tetap. Tapi, kalau bunga KPR reguler masih seperti saat KPR dengan bunga murah itu diambil, bunga khusus itu tentu akan disesuaikan, katakanlah dari semula 10 persen menjadi 13 persen. Dampaknya cicilan KPR akan meningkat. Atau yang lebih parah saat periode bunga fixed itu berakhir bunga pasar naik. Cicilan KPR akan lebih melonjak lagi.

Sementara kalau Anda tidak mengambil fitur apapun, hanya mengambil KPR reguler karena merasa bunga pasar cenderung menurun, risikonya juga ada. Suatu saat bunga pasar bisa meningkat lagi, entah karena perubahan situasi makro ekonomi atau akibat situasi bunga yang rendah itu sendiri, sehingga cicilan KPR ikut melonjak.

Penjelasannya begini: “Harga” atau bunga pasar turun antara lain karena semua bank masuk pasar KPR sehingga suplai KPR meningkat. Karena bunga makin rendah, permintaan KPR meningkat. Yang tadinya tidak mampu sekarang kuat mencicil. Pada suatu titik suplai KPR akan mulai berkurang, sementara permintaan terus meningkat, saat itulah bunga KPR akan naik. Jadi, setiap pilihan ada plus minusnya.

Antisipasi dini
Sebagai contoh pada 15 April 2007 Anda membeli rumah seharga Rp300 juta di salah satu perumahan yang bermitra dengan Bank A. Bank setuju memberi KPR Rp200 juta sehingga Anda harus membayar uang muka Rp100 juta. Periode KPR 15 tahun (180 bulan) dengan bunga 9 persen efektif floating fixed selama tahun pertama.

Menurut perhitungan seorang praktisi KPR sebuah bank BUMN, cicilan pokok KPR itu rata-rata pada tahun pertama adalah Rp 2.615.000/bulan, yang terdiri dari angsuran pokok Rp 1.115.000 dan bunga Rp 1.500.000. Pada 15 April 2008 masa berlaku bunga 9 persen itu berakhir.

Katakanlah saat itu bunga KPR regular Bank A masih 12 persen. Sementara saldo KPR Anda tinggal Rp 200 juta – (Rp 1.115.000 x 12 bulan) = Rp 186.620.000. Maka rata-rata cicilan KPR Anda pada tahun kedua adalah Rp2.981.200/bulan, yang terdiri dari angsuran pokok Rp 1.115.000 dan bunga Rp 1.866.200.

Dari perhitungan itu terlihat, meskipun saldo pokok KPR Anda pada tahun kedua sudah turun menjadi Rp186.620.000 dari semula Rp 200 juta, cicilan kredit (pokok + bunga) tetap naik dari Rp2,615 juta/bulan pada tahun pertama menjadi Rp 2,981 juta/bulan pada tahun kedua. Bayangkan kalau pada tahun kedua bunga KPR Bank A naik menjadi, katakanlah 14 persen. Tentu cicilan KPR Anda makin gede lagi.

Anda sudah harus mengantisipasi hal itu sejak dini, sehingga tidak terlonjak ketika melihat cicilan KPR meningkat. Caranya mudah. Hitung cicilan sejak awal dengan suku bunga reguler, bukan bunga khusus. Pastikan cicilan dengan bunga regular tidak melewati 30 persen dari penghasilan Anda. Kalau melebihi 30 persen penghasilan, tambah uang muka atau cari rumah lain yang lebih murah.

Profesi, usia, dan periode KPR
Profesi Anda juga perlu dipertimbangkan dalam memilih KPR. Bila Anda karyawan berpenghasilan tetap yang belum tentu setiap tahun mengalami kenaikan gaji, sebaiknya ambil KPR dari bank dengan riawayat bunga relatif stabil, atau KPR dengan bunga efektif fixed lebih dari satu tahun. Kecuali Anda memiliki penghasilan sampingan yang memungkinkan menghadapi fluktuasi bunga, tidak apa-apa mengambil KPR dengan bunga efektif floating.

Sedangkan bagi kaum profesional dan pedagang, KPR dengan bunga efektif floating tidak terlalu masalah, karena kemungkinan kenaikan bunga masih bisa diimbangi secara relatif dengan kenaikan penghasilan. Begitu pula jangka waktu KPR, perlu disesuaikan dengan profesi dan penghasilan.

Bagi yang berpenghasilan tetap ada baiknya mengambil periode KPR maksimal, misalnya 15 atau 20 tahun. Dengan demikian cicilan KPR tiap bulan bisa lebih kecil. Memang total bunga yang harus dibayar sampai akhir periode KPR menjadi lebih besar. Tapi, dengan sistem bunga anuitas atau efektif percepatan pelunasan tidak dikenai pinalti.

Seseorang dengan penghasilan Rp3,5 juta per bulan bisa mendapatkan KPR Rp 100 juta kalau periode kreditnya 20 tahun. Dengan penghasilan yang sama tapi periode KPR 10 tahun, dia hanya bisa memperoleh KPR maksimal Rp79 juta. Pertimbangkan juga usia. Usia pensiun PNS misalnya, 55 tahun. Jadi, kalau seorang PNS mengajukan KPR pada usia 45 tahun, maksimal periode kreditnya hanya 10 tahun.

Sedangkan bagi kalangan berpenghasilan tidak tetap seperti pedagang, pilihan periode KPR amat tergantung pada jenis jasa dan usaha yang digeluti. Kalau usaha selalu membutuhkan dana tunai, tentu lebih baik mengambil KPR dengan periode cukup lama. Yang penting tingkat bunga KPR di bawah return usaha Anda.

Terakhir pilih KPR dari bank yang memiliki banyak cabang, profesional dalam penyaluran KPR, dan didukung dengan sistem teknologi yang memadai. Dengan demikian Anda lebih mudah melakukan pembayaran cicilan, baik ke langsung kantor cabang atau melalui ATM. Selain itu kalau ada masalah, bank akan berupaya melayani keluhan Anda dengan baik dan mencarikan solusinya.

Lebih Untung Memakai KPR
Sebagian orang memilih membeli rumah secara tunai ketimbang memakai fasilitas KPR. Tapi, betulkah membeli rumah secara tunai lebih menguntungkan? Tidak selalu demikian. Simak contoh berikut ini.

Misalnya, Anda memiliki penghasilan Rp 15 juta dan pengeluaran Rp 8 juta, sehingga setiap bulan ada surplus Rp 7 juta. Selain itu tabungan Rp 400 juta. Dari penghasilan itu yang Anda keluarkan untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga hanya Rp 7 juta sehingga setiap bulan ada surplus Rp8 juta. Sementara tabungan menghasilkan bunga net (setelah dipotong pajak dan lain-lain) lima persen per tahun atau Rp 1,67 juta per bulan.

Pada suatu hari Anda berniat membeli rumah seharga Rp 400 juta. Bila seluruh tabungan dipakai melunasi harga rumah, saldo tabungan nol dan pendapatan bunga Rp 1,67 juta/bulan hilang. Sebaliknya, kalau hanya Rp 200 juta dari tabungan itu yang Anda pakai untuk membayar uang muka rumah, sisanya Rp 200 juta dilunasi secara mencicil dengan fasilitas KPR, ceritanya akan berbeda.

Dengan periode KPR 10 tahun (120 bulan) dan bunga 13 persen, cicilan yang harus Anda bayar untuk kredit sebesar Rp 200 itu adalah Rp 3 juta/bulan. Dengan sisa penghasilan Rp 8 juta/bulan, cicilan Rp 3 juta itu masih menyisakan surplus Rp 5 juta.

Sementara sisa tabungan yang Rp 200 juta dipakai lagi untuk membayar uang muka apartemen tipe studio di kawasan pusat bisnis Jakarta seharga Rp 400 juta. Dengan demikian Rp 200 juta sisanya Anda kembali meminta kredit pemilikan apartemen (KPA) dari bank.

Dengan periode 10 tahun dan bunga 13 persen, cicilannya juga Rp 3 juta/bulan. Dengan surplus penghasilan Rp 5 juta, cicilan Rp 3 juta ini masih memungkinkan Anda menyimpan penghasilan Rp2 juta/bulan.

Apartemen laku disewakan Rp 5 juta per bulan atau Rp 60 juta/tahun setelah dipotong biaya-biaya dan broker fee. Dengan demikian setiap bulan Anda memiliki penghasilan bersih Rp 7 juta, ditambah potensi gain dari peningkatan harga rumah dan apartemen. Penghasilan itu tidak akan ada kalau semua tabungan Anda dipakai melunasi harga rumah.





depok, perumahan cluster terjangkau, perumahan alam depok residence pancoran mas, harga rumah didepok, perumahan 2013, alam depok residence nuansa alam, perumahan strategis, perumahan kpr, rumah kpr, perumahan nuansa asri, perumahan murah, resident, perumahan dekat arco, perumahan dekat jakarta, perumahan dekat stasiun, perumahan cibinong, alam residence, perumahan dekat tol

No comments: